oleh

Mahasiswa Untirta Soroti Deforestasi Sumatra, Akibat Izin Serampangan

Serang – kemajuanrakyat.id-Bencana alam besar yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatra Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara kembali menyingkap rapuhnya tata kelola lingkungan hidup di Indonesia. Hingga Senin (8/12/2025) pukul 08.00 WIB, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 926 orang meninggal dunia, 272 orang hilang, dan sekitar 5.000 orang luka-luka. Selain itu, 148,1 ribu rumah rusak, disusul kerusakan 1,2 ribu fasilitas umum, 534 fasilitas pendidikan, 420 rumah ibadah, 405 jembatan, 234 gedung kantor, dan 199 fasilitas kesehatan.

“Melihat kerusakan sebesar ini, kita tidak bisa lagi menganggap bencana sebagai kejadian alam semata. Ada persoalan tata kelola yang sangat serius,” ujar Intan Nuraini, mahasiswa Untirta, kepada wartawan, Kamis (11/12/2025).

Ia menegaskan bahwa pemulihan Sumatra adalah keharusan, bukan sekadar retorika. “Pemulihan tidak hanya memakan waktu, tetapi anggarannya akan berlipat ganda. Belum lagi trauma psikologis masyarakat yang terdampak,” terangnya.

Analisis Greenpeace Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas Daerah Aliran Sungai (DAS) di Pulau Sumatra telah masuk kategori kritis, dengan tutupan hutan alami di bawah 25 persen. Salah satu yang terparah adalah DAS Batang Toru, yang membentang di Kabupaten Tapanuli Utara, Selatan, dan Tengah.

“Mereka mencatat deforestasi mencapai 70.000 hektar selama 1990–2022. Itu setara 21 persen dari luas DAS,” ungkap Intan, mengutip laporan.

Sementara itu, areal perizinan berbasis lahan dan industri ekstraktif mencapai 94.000 hektar atau 28 persen dari seluruh kawasan. Konsesi tersebut meliputi PBPH kehutanan, izin tambang, dan perkebunan sawit.

Intan menjelaskan bahwa regulasi sebenarnya telah mengatur dengan tegas. Pasal 35 dan 37 UU No. 26/2007 melarang pemanfaatan ruang yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). “Aturan ini bukan sekadar teknis, tetapi pagar hukum agar pembangunan tetap berada di zona aman,” tuturnya.

Dalam konteks bencana Sumatra, pelanggaran terhadap tata ruang dianggap memperburuk dampak bencana. Menurut Intan, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara jelas mewajibkan setiap orang, termasuk pemerintah dan pelaku usaha, menjaga kelestarian lingkungan.

“Pasal 67 dan 69 mewajibkan perlindungan lingkungan, sementara Pasal 88 menerapkan strict liability bagi aktivitas berisiko tinggi. Artinya, siapa pun yang merusak bertanggung jawab meski tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya,” jelasnya.

Ia menilai bahwa deforestasi, ekspansi perkebunan besar, dan operasi tambang terbuka telah menggerus daya dukung alam, sehingga memperparah banjir, longsor, dan kebakaran hutan.

Pemerintah sebelumnya menyatakan bahwa bencana dipicu cuaca ekstrem, seperti disampaikan Kementerian ESDM dalam salah satu artikelnya.

Namun, jaringan masyarakat sipil punya pandangan berbeda. “Data lapangan justru menunjukkan rusaknya ekosistem hutan di tiga provinsi akibat perizinan industri ekstraktif yang tidak terkendali,” ungkap Intan.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat adalah akibat rusaknya daerah hulu dan DAS.

“Ketika model pembangunan ekstraktif mencapai titik buntu, daya dukung ekologis runtuh,” katanya.

Walhi Nasional juga mencatat deforestasi seluas 1,4 juta hektar sepanjang 2016–2025 di tiga provinsi terdampak bencana. Di sepanjang Bukit Barisan terdapat 631 perusahaan ekstraktif dari sawit, tambang, hingga panas bumi dan PLTA.

“Aktivitas ekstraktif ini menambah kerentanan ekologis dan ketika risiko muncul, daya rusaknya besar seperti yang kita lihat sekarang,” tegasnya.

Intan menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh perizinan di kawasan ekosistem penting. “Perlu penegakan hukum dan moratorium permanen izin-izin di kawasan hutan,” ujarnya. Ia juga menilai perlunya revisi kebijakan seperti UU Pertambangan dan UU Cipta Kerja.

Selain itu, ia mendorong hadirnya UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat untuk mengisi kekosongan hukum dan menjamin partisipasi rakyat.

“Pemerintah jangan hanya mengobral izin. Perizinan harus dipahami sebagai mekanisme pembatasan, bukan peleluasaan,” tandasnya.

Pemerintah harus mengakui kesalahan dalam tata kelola hutan dan lingkungan. “Hutan Sumatra habis, lingkungan rusak, dan masyarakat harus membayar harga sangat mahal dari bencana ekologis,” ungkapnya.

Ia juga menuntut investigasi terhadap pejabat dan korporasi yang diduga melakukan kolusi merampas tanah rakyat dan wilayah adat.

Intan menegaskan bahwa bencana Sumatra harus menjadi pelajaran penting.“Kerusakan akibat perizinan serampangan jangan sampai terulang, termasuk di Papua, Raja Ampat, dan pulau-pulau kecil lainnya,” terangnya.

Ia menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan pemerintah tidak akan tercapai jika lingkungan terus rusak. “Tidak ada keuntungan ekonomi yang bisa menandingi nilai lingkungan yang hancur,” pungkasnya.

( Yuyi Rohmatunisa )

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed