oleh

Sumatera Darurat Banjir, Mahasiswi FH UNTIRTA Soroti Krisis Ekologis dan Regulasi Tumpang Tindih

Serang – kemajuanrakyat.id-Bencana banjir besar yang melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat akhir-akhir ini bukan sekadar musibah alam, tetapi juga mencerminkan krisis ekologis akibat lemahnya pengelolaan lingkungan dan tumpang tindih regulasi. Hingga akhir November 2025, sedikitnya 174 orang dilaporkan meninggal, ribuan warga mengungsi, dan puluhan lainnya masih hilang. Infrastruktur rusak parah, akses transportasi terputus, dan jaringan telekomunikasi terganggu, memperberat upaya penanganan bencana.

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA), Nanda Zahra Sausan, menyebut bahwa bencana ini bukan sekadar fenomena alam.

“Hujan ekstrem dan longsor hanyalah pemicu. Akar masalahnya adalah kerusakan lingkungan dan lemahnya pengawasan tata ruang, yang diperparah oleh tumpang tindih regulasi,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (3/12/2025).

Menurut Nanda, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) diperburuk oleh konversi lahan gambut, pembuangan limbah industri, pembukaan perkebunan monokultur, dan pertambangan ekstraktif.

“Sungai dangkal hingga 50% kapasitasnya di beberapa wilayah. Drainase sempit dan alih fungsi waduk menjadi permukiman juga memperburuk banjir urban,” kata Nanda.

Selain itu, lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah menjadi kendala utama. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak berjalan efektif karena kebijakan lingkungan, perizinan pembangunan, dan tata ruang sering bertabrakan. Akibatnya, mitigasi bencana bersifat reaktif dan korban terus bertambah.

Nanda menekankan perlunya tindakan nyata dan komprehensif. “Pemerintah harus meninjau ulang kebijakan tata ruang dan perizinan, memperkuat pengawasan pembangunan di kawasan rawan bencana, serta menginstitusionalisasikan analisis risiko bencana sebagai dasar pengambilan keputusan,” tegasnya.

Upaya mitigasi banjir juga harus melibatkan kolaborasi pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Sinergi yang berkelanjutan, berbasis data ilmiah dan kearifan lokal, diharapkan mampu menjaga keseimbangan ekologis serta meminimalkan risiko bencana serupa di masa depan.

Dengan penerapan kebijakan lingkungan yang terintegrasi, penguatan sistem peringatan dini, prosedur evakuasi standar, dan edukasi masyarakat, Sumatera diharapkan dapat pulih dari krisis ini dan membangun ketahanan terhadap bencana ekologis di masa mendatang.

( Yuyi Rohmatunisa)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed