Serang, Kemajuanrakyat.id-Provinsi Banten, yang resmi berdiri pada tahun 2000 setelah memisahkan diri dari Jawa Barat, adalah sebuah wilayah yang penuh dengan paradoks. Di satu sisi, Banten merupakan salah satu provinsi dengan kontribusi ekonomi nasional yang cukup signifikan, terutama karena keberadaan kawasan industri besar di Tangerang dan Cilegon. Namun, di sisi lain, provinsi ini masih menghadapi persoalan klasik berupa kemiskinan, ketimpangan, serta kualitas hidup masyarakat yang relatif tertinggal jika dibandingkan dengan daerah tetangganya, DKI Jakarta.
Kontras ini semakin tampak ketika membandingkan tunjangan dan penghasilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten periode 2024–2029 dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Banten 2025. Berdasarkan data resmi, seorang anggota DPRD Banten dapat memperoleh penghasilan sekitar Rp 80,7 juta per bulan, sementara pekerja yang hanya mengandalkan UMP hidup dengan Rp 2,9 juta per bulan.
Artinya, dalam satu bulan seorang anggota DPRD bisa mengantongi penghasilan yang setara dengan 27–28 bulan gaji buruh dengan UMP. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana bisa kesenjangan sebesar itu dibiarkan berlangsung, padahal anggota dewan seharusnya menjadi wakil rakyat yang memahami penderitaan masyarakat?
Kita coba mengulas fenomena tersebut secara kritis, dengan menampilkan data faktual, analisis komparatif, dan refleksi mengenai makna keadilan sosial dalam konteks Banten.
Struktur Penghasilan Anggota DPRD Banten
Dokumen resmi Pergub Banten Nomor 37 Tahun 2022 berjudul “tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 4 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Banten.
Dalam aturan ini, termuat beberapa komponen penghasilan tetap dan tunjangan administratif bagi pimpinan dan anggota DPRD. Beberapa komponen utama adalah:
1. Uang Representasi
– Ketua DPRD: Rp 3.000.000 / bulan
– Wakil Ketua: Rp 2.400.000 / bulan
– Anggota DPRD biasa: Rp 2.250.000 / bulan
2. Tunjangan Keluarga (istri/suami + anak)
– Istri/suami Ketua: Rp 300.000
– Istri/suami Wakil Ketua: Rp 240.000
– Istri/suami Anggota: Rp 225.000
– Anak Ketua: Rp 60.000
– Anak Wakil Ketua: Rp 48.000
– Anak Anggota: Rp 45.000
3. Tunjangan Jabatan
– Ketua: Rp 4.350.000
– Wakil Ketua: Rp 3.480.000
– Anggota: Rp 3.262.500
4. Tunjangan Beras
Semua jabatan (Ketua / Wakil / Anggota): Rp 226.240 per bulan
5. Uang Paket
– Ketua: Rp 300.000
– Wakil Ketua: Rp 240.000
– Anggota: Rp 225.000
6. Tunjangan untuk Badan / Alat Kelengkapan
Tunjangan Badan Musyawarah / Alat Kelengkapan : misalnya Ketua mendapatkan Rp 326.250; Wakil Ketua dan anggota dengan besaran yang lebih rendah.
7. Tunjangan Komunikasi Intensif dan Reses
Besaran tunjangan Komunikasi Intensif = Rp 21.000.000 / bulan bagi pimpinan dan anggota.
Tunjangan Reses = Rp 21.000.000 / periode tertentu / bulan bagi pimpinan dan anggota.
Berdasarkan Pergub Nomor 31 Tahun 2024 nilai tunjangan perumahan DPRD Banten mengalami kenaikan signifikan jika dibandingkan Pergub 37 Tahun 2022.
8. Tunjangan Perumahan (Pergub Nomor 37 Tahun 2022).
– Ketua: Rp 38.500.000 / bulan
– Wakil Ketua: Rp 35.000.000 / bulan
– Anggota: Rp 32.500.000 / bulan
Tunjangan Perumahan yang terbaru untuk anggota DPRD Banten periode 2024-2029 (Berdasarkan Pergub Nomor 31 Tahun 2024):
– Ketua DPRD Banten Rp 49.800.000 per bulan
– Wakil Ketua DPRD Banten Rp 45.600.000 pet bulan
– Anggota DPRD Rp 43.000.000 per bulan
Jika digabungkan, seorang anggota DPRD Banten menerima sekitar Rp 125 juta per bulan.
Angka ini belum termasuk tunjangan alat kelengkapan dewan, fasilitas kendaraan, dan perjalanan dinas, yang bisa semakin melambungkan jumlah riil penerimaan seorang legislator.
UMP Banten 2025 dan Realitas Pekerja
Pemerintah Provinsi Banten melalui Keputusan Gubernur menetapkan UMP 2025 sebesar Rp 2.905.199,90. Angka ini naik sekitar 6,5% dari UMP 2024 (Rp 2.661.280). Meski secara nominal ada kenaikan, jika dibandingkan dengan laju inflasi dan biaya hidup di Banten, kenaikan tersebut nyaris tidak terasa.
Beberapa indikator biaya hidup di kawasan perkotaan Banten menunjukkan bahwa UMP masih jauh dari cukup: biaya sewa kontrakan sederhana di Tangerang Selatan atau Kota Tangerang sudah mencapai Rp 1,5–2 juta per bulan; harga beras di tahun 2025 mencapai Rp 14.000–15.000 per kilogram; biaya transportasi harian pekerja di kawasan industri rata-rata Rp 1–1,5 juta per bulan.
Dengan UMP Rp 2,9 juta, hampir seluruh penghasilan pekerja habis untuk biaya kontrakan, makan, dan transportasi. Tidak ada ruang tersisa untuk tabungan, pendidikan anak, apalagi biaya kesehatan.
Kemiskinan dan Ketimpangan di Banten
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2024 angka kemiskinan di Banten berada di kisaran 6,2%, setara dengan 750 ribu jiwa. Jika memperhitungkan kelompok rentan miskin (yang sedikit di atas garis kemiskinan), jumlahnya bisa mencapai 2 juta orang.
Selain angka kemiskinan, koefisien gini Banten pada 2024 berada di angka 0,38. Angka ini menunjukkan tingkat ketimpangan ekonomi yang cukup tinggi, meski sedikit di bawah rata-rata nasional (0,40). Artinya, distribusi pendapatan di Banten masih timpang, di mana kelompok kaya menikmati porsi pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan kelompok miskin.
Kemiskinan di Banten juga bersifat geografis. Kabupaten Lebak dan Pandeglang memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dibandingkan kawasan perkotaan seperti Tangerang atau Cilegon. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Banten belum merata.
Kontras Tajam antara DPRD dan Buruh
Jika dihitung, penghasilan seorang anggota DPRD Banten setara dengan: 27,8 kali lipat UMP Banten 2025.
Dalam setahun, seorang anggota DPRD bisa memperoleh lebih dari Rp 969 juta. Sedangkan seorang buruh yang hidup dengan UMP hanya memperoleh Rp 34,8 juta per tahun.
Jika penghasilan seorang DPRD digunakan untuk membiayai keluarga buruh miskin dengan UMP, maka satu anggota DPRD mampu menanggung hidup 28 keluarga buruh setiap bulan. Angka ini jelas menggambarkan jurang kesenjangan sosial-ekonomi yang luar biasa.
Beban APBD
Dengan jumlah 100 anggota DPRD Banten periode 2024–2029, total belanja gaji dan tunjangan mereka bisa mencapai puluhan miliar per tahun. Dana sebesar itu setara dengan pembangunan ratusan ruang kelas baru sekolah negeri atau pembiayaan ribuan beasiswa anak miskin.
Konstitusi Indonesia menekankan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, struktur penghasilan DPRD Banten justru memperlebar jurang antara elit politik dan masyarakat pekerja.
Tingginya tunjangan DPRD berpotensi merusak legitimasi moral lembaga legislatif. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan, melihat DPRD hanya sebagai arena untuk memperoleh keuntungan pribadi, bukan ruang untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

Perspektif Akademik dan Ilmiah
Menurut teori stratifikasi sosial Karl Marx, kesenjangan antara elit politik dan kelas pekerja adalah manifestasi dari dominasi kelas yang berkuasa terhadap kelas yang lemah. Dalam konteks Banten, DPRD bisa dipandang sebagai representasi kelas berkuasa yang menikmati surplus ekonomi dari anggaran daerah.
Todaro dan Smith dalam Economic Development (2015) menekankan bahwa ketimpangan bukan hanya masalah distribusi pendapatan, tetapi juga berimplikasi pada stabilitas sosial-politik. Ketimpangan ekstrem dapat memicu konflik sosial, ketidakpuasan, dan delegitimasi pemerintah.
Sejumlah penelitian di Indonesia, seperti kajian oleh SMERU Research Institute, menunjukkan bahwa ketimpangan penghasilan antara pejabat publik dan masyarakat pekerja sering menimbulkan resistensi sosial, terutama ketika kinerja pejabat tersebut tidak sesuai harapan.
Reformasi Tunjangan DPRD
Tunjangan DPRD harus dikaitkan dengan kinerja. Misalnya, indikator berupa jumlah perda yang dihasilkan, efektivitas pengawasan, dan kualitas representasi.
Pertama, transparansi dan akuntabilitas. Semua penerimaan anggota DPRD harus diumumkan secara terbuka kepada publik, agar masyarakat bisa menilai proporsionalitasnya.
Kedua, prioritas anggaran untuk rakyat. Dana publik seharusnya lebih banyak dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan UMKM.
Ketiga, perbaikan UMP dan lerlindungan pekerja. Pemerintah Provinsi Banten harus mendorong UMP yang lebih layak, sejalan dengan kebutuhan hidup riil di daerah perkotaan.
Perbandingan antara tunjangan DPRD Banten 2024–2029 dan UMP Banten 2025 mengungkapkan jurang sosial yang dalam. Sementara wakil rakyat hidup dengan penghasilan fantastis, ribuan pekerja dan jutaan rakyat Banten harus bertahan hidup dengan upah minimum yang pas-pasan.
Jika kesenjangan ini terus dibiarkan, bukan hanya keadilan sosial yang tercederai, tetapi juga legitimasi politik DPRD akan semakin runtuh di mata masyarakat. Reformasi tunjangan legislatif, peningkatan kesejahteraan pekerja, serta transparansi anggaran adalah langkah mendesak untuk memulihkan kepercayaan publik dan mewujudkan demokrasi lokal yang sehat.
Oleh: Lauren Dahmi , Pemerhati Media
Komentar