Serang– kemajuanrakyat.id-Gunung Pinang di Kecamatan Kramat Watu, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, belakangan menjadi sorotan bukan karena keindahan alamnya, tetapi akibat aktivitas pertambangan ilegal yang merusak lingkungan. Aparat penegak hukum Polda Banten telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap aktivitas.
Menurut Naura Azka Saffanah, Kader Permahi Untirta, pertambangan ilegal bukan hanya merusak lingkungan tetapi juga membahayakan masyarakat sekitar.
“Tambang ilegal merusak ekosistem, mengganggu warga, dan berpotensi menimbulkan bencana alam seperti longsor dan banjir,” ujarnya kepada wartawan, Sabtu (6/12/2025).
Kasubdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Banten, Kompol Dhoni Erwanto, menjelaskan, aktivitas pertambangan ilegal di Gunung Pinang telah berlangsung sekitar tiga bulan. Polisi menemukan dua unit ekskavator yang digunakan untuk menambang batu belah secara ilegal. “Alat berat ini sudah kami sita dan titipkan di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Serang,” kata Kompol Dhoni.
Selama operasi, tercatat sekitar 30 truk melakukan pengangkutan batu belah dari lokasi tersebut saat cuaca cerah.
Pertambangan ilegal, atau PETI, merupakan aktivitas menambang tanpa izin resmi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara mewajibkan setiap kegiatan pertambangan memiliki izin seperti IUP, IUPK, atau izin resmi lainnya. Pelaku pertambangan ilegal dapat dijerat sanksi administratif maupun pidana.
Menurut Yusuf Fachrurozi dalam artikel di Hukumonline.com, sanksi pidana dapat berupa penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp100 miliar, sesuai Pasal 158 UU 3/2020. Selain itu, pelaku juga dapat dikenai pidana tambahan, seperti perampasan alat, keuntungan, dan kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
Saat ini, kasus pertambangan ilegal Gunung Pinang sedang berada pada tahap pelimpahan berkas dari Polda Banten ke Kejaksaan Tinggi Banten. Hal ini mengacu pada jerat pidana Pasal 158 UU Minerba dengan ancaman pidana penjara dan denda yang signifikan.
Dampak pertambangan ilegal di Gunung Pinang sudah dirasakan oleh masyarakat sekitar. Aktivitas tanpa analisis dampak lingkungan, reklamasi, atau rehabilitasi menyebabkan tanah mudah longsor, air hujan tidak terserap, debu dan getaran merusak rumah warga, serta mengganggu flora dan fauna setempat.
Penulis menekankan pentingnya peran negara, masyarakat, dan aparat hukum dalam memberantas pertambangan ilegal. “Penegakan hukum harus tegas, termasuk menindak operator, pengangkut, penadah, hingga pemodal, agar tercipta efek jera,” tegas Naura.
Gunung bukan sekadar tumpukan batu ia adalah penyangga kehidupan, sumber air, dan benteng ekologis. Ketika pertambangan ilegal merusaknya, bukan hanya gunung yang terluka, tetapi juga masyarakat dan lingkungan yang ikut menanggung dampaknya. Semoga penanganan kasus ini tidak berhenti pada OTT, melainkan menjadi momentum perbaikan tata kelola sumber daya alam demi kelestarian alam dan keselamatan masyarakat.
( Yuyi Rohmatunisa)













Komentar