oleh

H. Ubaihaqi Angkat Kisah Pontang dalam Narasi Sejarah Pangeran Arya Singaraja

Kota Serang, Kemajuanrakyat.id-Pontang, sebuah kecamatan di pesisir utara Banten kembali menjadi sorotan sejarah. Kepala Bidang II Pendistribusian dan Pendayagunaan Baznas Kota Serang yang juga dosen di UNIBA, H. Ubaihaqi, mengangkat kembali peran Pontang sebagai pusat peradaban dan keislaman sejak masa kejayaan Kesultanan Banten.

Pria yang akrab disapa Kang Ubay itu menuturkan bahwa Pontang dahulu bukan sekadar pelabuhan perdagangan, tetapi juga pelabuhan spiritual dan budaya. Salah satu tokoh penting yang diangkat dalam narasinya adalah Pangeran Arya Singaraja, yang disebut sebagai penjaga keheningan sekaligus penegak Islam pertama di kawasan pelabuhan.

“Di atas tanah sunyi, Islam tumbuh bukan hanya sebagai ajaran, tetapi sebagai napas kehidupan. Masjid menjadi pusat aktivitas, dan salat lima waktu menjadi denyut masyarakat,” ujar Kang Ubay kepada wartawan Selasa, (10/6/2025).

Ia menjelaskan, Pangeran Arya Singaraja diutus membangun peradaban Islam di Pontang pasca keruntuhan Kerajaan Padjajaran. Perjalanan sejarah itu, penting untuk kembali dihidupkan dalam memori kolektif masyarakat Banten khususnya generasi muda.

Lebih lanjut, Kang Ubay menyinggung jejak budaya pra-Islam yang masih tertinggal di sekitar wilayah Nagara dan Patapan. Situs punden berundak dan aliran sungai dianggap menyimpan catatan penting dari masa Hindu-Buddha, menandakan bahwa Pontang telah menjadi titik temu berbagai peradaban jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.

Pontang sendiri mencapai masa keemasannya pada era Sultan Ageng Tirtayasa, dimana pelabuhan ini menjadi jalur utama perdagangan internasional. Sungai Ciujung dan Cidurian menjadi urat nadi ekspor komoditas unggulan seperti lada, porselen, hingga jam tangan Eropa. Kang Ubay mengutip catatan Tom Pires, pelancong Portugis abad ke-16, yang menyebut Pontang sebagai “Pomdam”, pelabuhan penting di bawah Padjajaran.

“Lada Pontang saat itu dikenal lebih kuat dan harum daripada lada Cochin. Ini menunjukkan betapa kayanya hasil bumi dan kualitas perdagangan lokal kita pada masa lalu,” tambahnya.

Di akhir kisah, Kang Ubay juga mengangkat sosok Prabu Saka Domas, seorang pangeran dari Padjajaran yang memilih tinggal dan dimakamkan di Desa Domas. Makam tersebut hingga kini masih dirawat warga sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan simbol kerukunan lintas keyakinan.

Menurut Kang Ubay, menggali sejarah Pontang bukan hanya soal nostalgia, tetapi bagian dari penguatan identitas keislaman dan kebangsaan.

“Pontang adalah buku tua yang belum selesai dibaca. Kisahnya tidak berhenti di masa lalu, tetapi harus diteruskan dalam doa, dalam perdagangan dan dalam solidaritas sosial,” tutupnya.

( Yuyi Rohmatunisa)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed