Serang – kemajuanrakyat.id-Gerakan masyarakat sipil kembali menguat melalui seruan “17+8 Tuntutan Rakyat” yang menuntut pemerintah segera bertindak atas berbagai persoalan kebijakan publik. Tenggat waktu diberikan hingga 5 September 2025 untuk merespons 17 tuntutan rakyat dan melaksanakan 8 butir reformasi hingga 31 Agustus 2026.
Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Komisariat Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Risma Rachmawati, menyebut gerakan ini sebagai “alarm demokrasi” yang harusnya menggugah kesadaran pemerintah, DPR, partai politik, aparat keamanan, dan lembaga terkait.
“Setiap kebijakan publik dalam negara hukum seharusnya tidak hanya didasarkan pada kewenangan formal, tetapi juga menjunjung keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan,” ujar Risma kepada wartawan, Jum’at (5/9/2025).
Menurutnya, gerakan 17+8 lahir dari akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap abai terhadap kebutuhan rakyat. Sorotan tajam ditujukan pada rencana kenaikan tunjangan anggota DPR yang mencuat di tengah sulitnya kondisi ekonomi masyarakat.
Gerakan ini tidak hanya menyampaikan tuntutan, tetapi juga membawa simbol solidaritas dalam dua warna Brave Pink dan Hero Green. Brave Pink melambangkan keberanian kelompok rentan seperti perempuan, buruh, dan mahasiswa, sementara Hero Green mencerminkan keteguhan rakyat menghadapi tekanan.
“Brave Pink dan Hero Green menjadi wajah baru perlawanan rakyat berani, penuh harapan, dan berakar dari solidaritas kolektif,” kata Risma.
Ahli hukum administrasi negara, Dr. Dodi Jaya Wardana, S.H., M.H., menilai gerakan ini berakar pada tiga prinsip utama transparansi, reformasi, dan empati. Menurutnya, ketiga prinsip ini semestinya menjadi dasar perumusan kebijakan publik, namun kerap kali diabaikan.
“Tanpa implementasi konsisten, jurang antara kebijakan negara dan kebutuhan rakyat semakin melebar,” tegasnya.
Kritik juga diarahkan pada sikap pemerintah yang dinilai lebih fokus menjaga citra stabilitas politik daripada mengakui krisis kepercayaan yang tengah terjadi.
Risma menegaskan, gerakan ini bukan sekadar simbolik, tetapi panggilan untuk perubahan nyata.
“Perubahan tidak lahir dari sikap diam, tetapi dari keberanian kolektif untuk menyuarakan kebenaran,” ucapnya.
Dan kini, suara-suara itu sudah terlalu lantang untuk di abaikan.
Seruan “17+8 Tuntutan Rakyat Transparansi, Reformasi, Empati” kini bergema di berbagai platform digital dan media sosial, menjadi wadah konsolidasi publik lintas kelompok.
Risma mengutip adagium klasik dalam hukum.
“Fiat justitia ruat caelum keadilan harus ditegakkan sekalipun langit runtuh.”
( Yuyi Rohmatunisa)
Komentar