Kota Serang– kemajuanrakyat.id-Setiap 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan Nasional. Tanggal ini diambil untuk mengenang peristiwa heroik pertempuran Surabaya yang dipimpin Bung Tomo, salah satu perang pertama mempertahankan kemerdekaan Indonesia pasca Proklamasi. Namun, seiring perjalanan sejarah, pemberian gelar Pahlawan Nasional memunculkan pertanyaan penting apakah gelar tersebut selalu mencerminkan keteladanan yang patut diteladani bangsa.
Menurut Abe Shafa, Ketua Biro Penelitian, Pendidikan, dan Penyuluhan Hukum (P3H) Permahi Untirta, pemberian gelar pahlawan nasional sejak awal tidak lepas dari unsur politis. “Gelar Pahlawan Nasional pertama diberikan pada 1959 kepada Abdul Moeis, saat Indonesia menghadapi pemberontakan PRRI. Pemberian ini bukan sekadar penghormatan, tetapi juga langkah politik untuk memulihkan persatuan,” ujar Abe, Selasa (11/11/2025).
Pada era Orde Baru, proses ini tetap sarat politisasi. Presiden Soeharto, misalnya, menominasikan Basuki Rahmat dan istrinya, Siti Hartinah, sebagai Pahlawan Nasional tanpa melalui usulan pemerintah daerah. Pasca-Reformasi, kontroversi tak berhenti. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar kepada Mohammad Natsir yang sebelumnya ditolak karena keterlibatannya dalam PRRI.
Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, nama Soeharto tengah diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Langkah ini memicu kontroversi luas, khususnya di kalangan korban Orde Baru. Berbagai pelanggaran HAM, seperti kasus 30 September 1965, penembakan misterius 1982-1985, dan Talangsari 1989, serta praktik korupsi dan nepotisme, menjadi catatan kelam yang tak bisa diabaikan.
Abe menekankan pentingnya keteladanan dalam pemberian gelar. “Sejarah membentuk ingatan kolektif bangsa. Jika kita mulai mengaburkan batasan antara pengorbanan dan penindasan, bangsa ini kehilangan cermin untuk menilai dirinya sendiri,” jelasnya. Ia mengutip Halbwachs, bahwa ingatan kolektif bukan sekadar arsip sejarah, melainkan arena moral yang membimbing generasi.
UU No. 20/2009 mengatur sepuluh asas pemberian gelar, termasuk kebangsaan, kemanusiaan, keadilan, keteladanan, dan kehati-hatian. Abe mempertanyakan, “Apakah semua asas ini bisa terpenuhi jika Soeharto diakui sebagai Pahlawan Nasional?”
Dalam konteks ini, Hari Pahlawan menjadi momen refleksi bukan hanya tentang mengenang jasa para pejuang, tetapi juga menilai secara kritis siapa yang layak menjadi simbol keteladanan bangsa.
“Setiap bangsa hidup dari sejarahnya. Kedewasaan moral suatu bangsa terlihat dari cara mereka mengenang para pahlawan dan memperlakukan masa lalunya,” pungkas Abe.
( Yuyi Rohmatunisa)














Komentar