Serang, Kemajuanrakyat.Id-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembiayaan pendidikan dasar tanpa pungutan, termasuk bagi sekolah swasta, menuai sorotan. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Baehaki menilai putusan tersebut sarat kontroversi dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Putusan MK itu mengabulkan sebagian uji materi terhadap Pasal 34 ayat (2) Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa negara wajib menjamin pendidikan dasar gratis, tak terkecuali di sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat atau swasta.
“Putusan MK menegaskan bahwa pendidikan dasar tidak boleh dipungut biaya, siapa pun penyelenggaranya. Ini sejalan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945,” ujar Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta.
Namun, pernyataan Menteri Pendidikan yang menyebutkan sekolah swasta tetap bisa memungut biaya dalam situasi tertentu memunculkan tafsir yang bertentangan. Disinilah letak masalah, karena menandakan belum sinkronnya arah kebijakan antara kekuasaan yudikatif dan eksekutif.
“Putusan ini menyentuh aspek teknis kebijakan dan fiskal. MK seharusnya berhati-hati karena wewenangnya hanya membatalkan norma yang inkonstitusional, bukan membentuk norma baru,” ujarnya Selasa, (3/6/2025).
Dalam kacamata hukum tata negara, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai negative legislator. Artinya, MK tidak berwenang menetapkan kebijakan afirmatif tanpa basis implementasi dari eksekutif dan legislatif.
Ia menyoroti bahwa pelaksanaan putusan, justru bisa menimbulkan kebingungan di tingkat lapangan khususnya bagi sekolah swasta yang selama ini bergantung pada dana masyarakat.
“Tanpa kejelasan anggaran dari negara, sekolah swasta bisa terjebak dalam situasi dilematis antara melanggar putusan MK atau kehilangan sumber pembiayaan operasional,” jelasnya.
Data dari Mahkamah Konstitusi menunjukkan, pada tahun ajaran 2023/2024, lebih dari 173 ribu siswa SD ditampung di sekolah swasta, karena keterbatasan kapasitas sekolah negeri. Dengan fakta tersebut, keberadaan sekolah swasta menjadi penopang penting pemenuhan hak pendidikan dasar.
Baehaki menambahkan, mengutip pemikiran almarhum Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa “hukum harus menyentuh realitas sosial, bukan sekadar berhenti pada teks normatif.”Dalam konteks ini, kebijakan pembiayaan pendidikan harus memperhitungkan kondisi di lapangan dan kesanggupan fiskal negara.
“Jika seluruh pendidikan dasar wajib digratiskan, maka negara harus menyiapkan skema anggaran yang inklusif. Jangan hanya membuat aturan tanpa peta jalan pelaksanaan,” tegasnya.
Ia pun menyerukan agar DPR dan pemerintah segera merespons putusan MK melalui regulasi turunan dan pengaturan anggaran yang realistis. Baehaki menilai sinergi antar lembaga negara merupakan kunci menjaga marwah konstitusi dan keberlangsungan sistem pendidikan nasional yang adil dan berkelanjutan.
( Yuyi Rohmatunisa)
Komentar