Kota Serang — kemajuanrakyat.id-Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Petrik Louis Siahaan, menilai konsesi yang terus diberikan negara kepada PT Toba Pulp Lestari (TPL) menunjukkan adanya kegagalan kebijakan kehutanan dan agraria.
“Kawasan Danau Toba dan wilayah adat di sekitarnya sudah terlalu lama hidup dalam krisis lingkungan dan agraria,” katanya kepada wartawan, Jum’at (12/12/2025).
Ia menyebut operasi industri pulp melalui PT TPL memicu konflik lahan, kerusakan lingkungan, serta pelanggaran hak masyarakat adat. “Sejak awal berdiri, perusahaan ini tidak pernah lepas dari konflik,” ujarnya.
Perusahaan didirikan pada 1983 dengan nama PT Inti Indorayon Utama. Namun sejak masa awal operasional, warga menuding terjadinya perampasan tanah adat, pencemaran lingkungan, hingga penurunan kualitas air dan udara di Sungai Asahan. Setelah sempat dihentikan pada era Presiden B.J. Habibie, perusahaan kembali beroperasi tahun 2001 pada masa Presiden Abdurrahman Wahid setelah melalui audit dan restrukturisasi, lalu berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari. “Namun penolakan masyarakat adat tetap berjalan sampai hari ini,” ungkapnya.
Saat ini PT TPL mengantongi konsesi HTI seluas 167.912 hektare melalui SK Nomor 1487/MENLHK/SETJEN/HPL.0/12/2021 sebagai perubahan kesembilan atas SK Nomor 493/KPTS-II/1992. Petrik mempertanyakan alasan negara tetap memberikan konsesi meski perusahaan terus bermasalah.
“Ada dua faktor besar yang membuat negara tetap memberi izin kepada PT TPL,” tandasnya.
Pertama, skema Hutan Tanaman Industri masih dianggap sebagai cara untuk mendorong produktivitas hutan, menopang industri berbasis kayu, menghasilkan PNBP, dan membuka lapangan kerja.
“Pemerintah lebih menekankan industrial forestry dan memandang masyarakat adat sebagai hambatan pembangunan,” ujarnya.
Kedua, ia menyebut lemahnya verifikasi dan penetapan batas kawasan hutan membuat banyak wilayah adat diklaim sebagai hutan negara, padahal belum memiliki penetapan yang sah. Kondisi itu menyebabkan tumpang tindih antara konsesi perusahaan dengan wilayah adat seperti Hasibuan, Matio, Natumingka, Pandumaan, dan Sipituhuta.
“Konsesi sering kali diberikan di atas tanah adat yang tidak pernah diserahkan masyarakat,” ungkapnya.
Petrik menilai persoalan tersebut menjadi bukti kegagalan kebijakan kehutanan dan agraria karena negara mengabaikan prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan dari masyarakat adat. Ia menyebut berbagai konflik seperti Natumingka, Pandumaan
Sipituhuta, hingga Aek Napa menunjukkan bahwa masyarakat adat tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Ia juga menyoroti kerusakan ekologis akibat konversi hutan alam menjadi HTI berbasis eucalyptus. Laporan sejumlah organisasi lingkungan menunjukkan dampak berupa hilangnya tutupan hutan, penurunan kesuburan tanah, berkurangnya debit air, dan terancamnya habitat satwa endemik Tapanuli.
“Kerusakan ini jelas tidak bisa dianggap sebagai risiko normal industri,” tuturnya.
Menurut Petrik, krisis tersebut bukan hanya soal satu perusahaan, tetapi cermin gagalnya kebijakan kehutanan dan agraria selama empat dekade.
“Negara bertanggung jawab memastikan konsesi tidak berubah menjadi alat perampasan ruang hidup masyarakat adat. Pemerintah harus berani melakukan reformasi struktural, bukan sekadar memadamkan konflik,” tutupnya.
( Yuyi Rohmatunisa )














Komentar