oleh

Akademisi Banten Serukan ASEAN dan UNESCO Turun Tangan Atasi Konflik Cagar Budaya

Kota Serang – kemajuanrakyat.id-Rektor Masa Khidmat 2021-2025 Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Prof. Dr. H. Wawan Wahyuddin, M.Pd., yang juga seorang akademisi, menyampaikan gagasan damai terkait konflik berkepanjangan antara Thailand dan Kamboja mengenai situs Candi Preah Vihear. Menurutnya, warisan budaya dunia seperti Candi Preah Vihear harusnya menjadi ruang untuk mendidik nilai kemanusiaan, bukan sekadar simbol klaim politik antar negara.

“Konflik yang tidak kunjung usai antara Kamboja dan Thailand ini membutuhkan pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada kemenangan politik. Kita butuh solusi yang bersifat lebih manusiawi,” ujarnya, Jumat (1/8/2025).

Dia menegaskan pentingnya pendekatan diplomatik yang didasari oleh nilai cinta dan spiritualitas dalam penyelesaian sengketa perbatasan. “Ketika cinta digantikan oleh klaim, dan spiritualitas tergerus oleh kepentingan politik, maka makna dari candi tersebut sebagai warisan budaya akan hilang,” jelasnya.

Prof. Wawan memperkenalkan sebuah konsep yang ia sebut Kurikulum Cinta, yakni sebuah pendekatan kemanusiaan dalam hubungan antarbangsa yang mengedepankan nilai empati, saling memahami, dan penghormatan terhadap warisan budaya. “Diplomasi tidak harus keras, dan kebijakan tidak harus dingin. Cinta bisa menjadi strategi yang efektif, bukan kelemahan,” imbuhnya.

Candi Preah Vihear, yang terletak di perbatasan antara Thailand dan Kamboja, telah menjadi sumber ketegangan antara kedua negara tersebut selama bertahun-tahun. Namun, menekankan bahwa situs bersejarah ini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai aset nasional semata, melainkan sebagai milik bersama umat manusia.

“Preah Vihear bukan hanya milik Kamboja atau Thailand, tetapi milik seluruh umat manusia. Ia adalah warisan spiritual yang mengajarkan bahwa keagungan sejati lahir dari penghormatan dan pemahaman bersama, bukan dari dominasi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Prof. Wawan mengajak organisasi regional seperti ASEAN, serta badan internasional seperti UNESCO, untuk memainkan peran aktif dalam mengatasi konflik ini. Menurutnya, sudah saatnya kedua pihak dan komunitas internasional untuk mengelola situs bersejarah tersebut secara bersama-sama.

“Saat kita membutuhkan langkah konkret dari ASEAN, UNESCO, dan komunitas internasional lainnya. Pengelolaan bersama situs ini tidak hanya untuk melindungi situs fisiknya, tetapi juga untuk menciptakan paradigma baru dalam pendidikan dan diplomasi,” tegasnya.

Ia mengajak dunia untuk merumuskan kembali kurikulum baru yang mengajarkan nilai cinta sebagai dasar diplomasi, spiritualitas sebagai fondasi kebijakan, dan warisan budaya sebagai ruang bersama bagi seluruh umat manusia.

“Kita perlu sebuah kurikulum yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga mengajarkan kita bagaimana hidup berdampingan dalam damai dan saling menghargai,” pungkasnya.

( Yuyi Rohmatunisa)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed